Ini benar-benar
bulan Desember. Hujan dimana-mana. Jalanan basah. Langit hitam menggantung
sepanjang hari. Dan angin bertiup terlalu kencang. Dingin menusuk tulang. Musim
penghujan tahun ini datang terlambat, mungkin akan lama. Untung saja, kotaku
yang kecil bukan termasuk wilayah langganan banjir. Bukan karena disiplin
penghuninya, tetapi rasio penduduk dan luas wilayah sangat tidak sebanding.
Membuat iri mereka yang tinggal di kota besar yang padat dan sumpek. Kotaku
kecil sehingga tidak memerlukan kerja ekstra untuk mengurusnya.
Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan,
dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Apalagi setiap musim penghujan, aku
paling suka melihat jalanan kotaku basah. Dedaunan di sepanjang jalan terlihat
mengkilat pada sore hari. Terpaan lampu kota membuat deretan pohon di sepanjang
jalan layaknya pagar besi berkilau. Aku suka itu!
Sore ini, angin bertiup terlalu kencang. Hujan
sejak pukul 12 siang tadi belum juga berhenti, meski kini tinggal gerimis. Dari
balik jendela sebuah caffe shop di pinggir kotaku,, aku duduk menikmati gerimis
itu. Gerimis yang telah lama tidak aku temukan hampir sepanjang tahun ini.
Sekaligus gerimis yang selalu membuka beragam cerita yang menumpuk di sudut
batinku. Aku duduk di situ ditemani segelas cappucino sambil menghisap rokok,
pelan dan dalam. Mestinya aku merasa damai berada di situ, nyaman dan
melonggarkan pikiran.
Tetapi sore itu tidak!
Aku memang selalu datang ke tepat itu setiap sore
sehabis mengirimkan tulisan ke media yang bisa memuat esai-esai ‘kacau’-ku.
Melepas penat dan mungkin akan menemukan ide baru untuk bahan tulisan keesokan
harinya. Terlalu sering aku di situ. Hingga hampir seluruh pelayan mengenalku.
Keuntungannya, setiap aku masuk tanpa ditanya menu, langsung dipersilahkan
duduk di meja dekat jendela yang terletak di sudut ruangan. Tempat yang aku
suka!
Anehnya, sore itu aku menemukan diriku tidak
biasanya. Perasaan ini semakin aneh manakala melihat kaca jendela kusam dan
buram. Kuusap dengan tangan, terlihat beberapa anak bermain air di pinggir
jalan. Anak jalanan! Meski kotaku kecil, namanya anak jalanan tetap saja ada.
Tentu saja dengan tingkat kerumitan permasalahan yang berbeda. Anak jalanan di
kotaku masih memiliki rumah dan orang tua. Hanya saja orang tua mereka tidak
memiliki pekerjaan tetap sehingga anak-anak mereka tidak terurus. Berbeda
dengan di kota besar yang ‘tuna’ segala-galanya. Bahkan orang tua saja mereka
bingung menentukan siapa dan dimana.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang polos.
Bermain air, saling menendang, memukul, berputar, berlari, tanpa beban. Suasana
tawa dalam guyuran gerimis di luar terasa ringan. Seringan kapas! Berbeda
dengan suasana nyaman di sini, di sudut ruangan yang cozzy –kata anak-anak
muda—tetapi terasa berat, seberat awan hitam yang menggantung. Nyaris jatuh.
“Sedang menunggu seseorang?” suara perempuan
mengoyak lamunanku. Perempuan muda dengan senyum enteng kutemukan telah duduk
tepat di depanku. Sejak aku mengenal dan menjadikan coffe ini tempat favorit
untuk meliarkan khayalan, baru sore itu ada perempuan datang dan duduk tanpa
aku minta. Aku agak gelagapan.
“Tidak juga. Kamu…,” aku belum menemukan
pertanyaan yang sesuai untuk sebuah ketiba-tibaan. Aku panggil ‘kamu’ karena
aku yakin usia perempuan ini jauh di bawahku.
“Maaf, jika mengganggu,” celetuknya.
“Tidak juga,” terpaksa aku mengulang kalimatku.
“Terima kasih telah mamu duduk di meja ini.”
Ya! Aku formal banget. Perempuan itu tersenyum.
Mungkin menertawai sikapku yang diluar perkiraannya. Aku bisa menebak,
dipikirnya aku akan langsung menyodorkan senyum menggoda dan bergerak sangat
agresif. Jujur, aku memang sering seperti itu tetapi bukan untuk sebuah
ketiba-tibaan yang menghilangkan segala kecerdasanku. Benar! Aku terasa seperti
lelaki lugu.
Perempuan itu membetulkan posisi duduknya.
“Aku baru dua kali kesini. Pertama tiga hari
lalu, dan duduk di meja ini,” katanya. Aku mengingat tiga hari yang lalu,
memang aku tidak ngopi di sini. Aku ke rumah teman di luar kota. “Dan sore ini,
ternyata tempat ini enak juga ya…,” lanjutnya.
“Aku sering ke sini,” jawabku seolah menyiratkan
di meja inilah tempatku!
“O…ya?”
“Hampir setiap sore. Dan duduk di sini.”
“Selalu di sini?” tanya perempuan itu lagi.
“Ini tempat yang terlindung,” jawabku sambil
melirik ke pot-pot bunga yang berjejer mengelilingi sudut ruangan tempat
favoritku. “Tidak terlihat tetapi bisa melihat siapa saja yag masuk.”
“Pilihan tepat. Lalu kenapa tadi aku
mengejutkanmu?”
Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku tadi sangat
terkejut melihat kedatangannya.
“Lihat anak-anak itu! Mereka membuatku tidak
menyadari ada seseorang telah berada di depanku,” jawabku sekenanya. Perempuan
itu tersenyum. Giginya terlihat sangat terawat.
“Maaf, kita belum kenalan, Oka…” kusodorkan
tangan. Dia menyambut tanpa ragu.
“Jenny.”
“Baru di kota ini?”
“Betul. Aku tinggal bersama saudara sepupu di
ujung jalan ini,” jawabnya.
Setelah berkenalan itulah, pembicaraanku dan
Jenny berlangsung lancar. Bahkan kini terlihat bakat asliku; agresif dan suka
memutar balik logika kalimat lawan bicara. Tak terasa hampir dua jam, aku dan
Jenny terlibat pembicaraan tanpa arah. Ringan tetapi aku tahu, Jenny sangat
suka. Bahkan dengan gayanya yang khas Jenny menceritakan kondisi keluarganya di
Jakarta yang berantakan. Ayahnya harus balik ke Singapura sedangkan ibunya
tetap tinggal di Jakarta, serumah dengan pria selingkuhannya. Aku menghela
napas panjang dan dalam. Dari dulu, peroblematika hidup kota besar tak jauh
bergeser. Cinta, uang, pengkhianatan….klise! Bentakku dalam hati.
Hujan di luar sedikit mereda. Tetapi jalanan
mulai gelap. Temaram lampu kota, sekuat tenaga menembus dinginnya udara basah.
Kulihat Jenny semakin menikmati suasana, seolah ingin melepaskan beban yang
puluhan tahun menimbun kebebasannya.
“Apa tidak terlalu malam?” kataku mengingatkan.
“Aku masih suka di sini. Oka keberatan?”
Aku menggeleng.
Akhirnya aku melanjutkan pertemuan itu hingga
larut malam. Jenny memang luar biasa dengan segala permasalahan hidupnya.
Diceritakan dengan detail, mungkin tanpa tertinggal secuilpun. Aku
menikmatinya. Keliaran pikiranku menangkap cerita Jenny dengan penuh semangat.
Ini ide hebat! Pikirku.
Hingga pagi. Tetapi tidak di coffe itu lagi.
Kutemukan tubuhku, lunglai dalam pelukan Jenny. Malam yang penuh gerimis telah
membuka segala cerita, menimbun segala duka. Ini sisi kreatifku yang terkadang
muncul tanpa kusadari. Maaf…
* * *
Kubatalkan semua rencana yang telah kususun rapi
sejak semalam. Ke rumah teman, lantas mampir ke perpustakaan kota, dan ngopi di
tempat biasa. Semangatku mendadak terbang menyelinap di sela mendung yang
membekap matahari pagi. Kini, gelapnya langit benar-benar membunuh
ketenangannku. Lantas mengumbar kecemasan yang sangat hebat. Aku tidak tahu
harus melakukan apa untuk menyingkirkan kenyataan mengerikan akan mengusik
kenyamanan pagiku. Mungkin juga kenyamanan seluruh usia hidupku.
Kubaca koran pagi; Jenny bunuh diri!
Seorang perempuan, tengah malam, ditemukan tewas
tergeletak di pinggir rel kereta dekat gerbang masuk kota. Diduga, perempuan itu
menabrakkan diri ke kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi. Polisi
berhasil menemukan indentitas dalam tasnya, korban bernama Jenny, 27 tahun,
warga Jakarta yang baru beberapa hari tinggal di kota ini…Kulipat koran itu,
napasku seolah berhenti sesaat. Tetapi jantungku berdegub jauh lebih kencang.
Itu perempuan yang bersamaku kemarin malam!
Aku membaca berita singkat itu sekali lagi. Sama.
Aku yakin itu Jenny! Tetapi kenapa dia melakukan hal bodoh itu? Kuhisap rokok
sekedar menenangkan pikiran. Tetapu justru malah blingsatan dan menyiksa. Entah
apa yang sedang terjadi dalam pikiranku, aku tidak tahu. Sedih. Takut.
Bersalah. Semua jadi satu! Apalagi ketika paragraf terakhir berita itu kubaca;
hasil visum tim dokter menyatakan kalau korban sedang hamil dua bulan. Keringat
dingin meluncur tak tertahankan lagi.
Apa karena kehamilannya itu membuat Jenny nekad?
Berpuluh ingatan singkat tentang Jenny memenuhi pikiranku. Aku terduduk. Lemas.
Kurasakan angin dingin menyelinap menggerakkan dedaunan di luar dan menelusup
melalui celah jendela. Kemarin malam, seolah tanpa beban, Jenny menjelaskan
sebagian peristiwa hidupnya.
“Kau tidak menyesal?” tanyaku.
“Lama sekali aku tidak mengenal perasaan itu.”
“Kenapa?”
“Kedua orang tuaku, seolah mengajarkan jika
penyesalan adalah bentuk pengingkaran,” Jenny menerawang kosong. Aku yakin, ada
beban teramat berat menggunung dalam batinnya.
“Rupanya ada bagian masa lalu yang menyakitkan?”
“Bukan sebagian hampir seluruhnya. Semua
peristiwa terjadi pada diri kita seolah diluar rencana baik yang kita susun.
Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan rangkaian peristiwa itu. Jadi,
suka atau tidak, harus dijalani,” jelas Jenny sangat dalam.
“Meski peristiwa itu akibat ulah kita sendiri?”
“Hanya persoalan cara pandang saja,” tukasnya
pendek.
Selanjutnya, tanpa beban secuilpun menganggu
perasaannya, Jenny menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya pada suatu
malam. Pertengkaran yang hebat! Ketika itu, Jenny tidak mengerti pangkal
permasalahan sebenarnya. Yang dia lihat, ayahnya menampar ibunya. Ibu lebih
berani lagi, membantah dan melontarkan kalimat kasar. Bukan layaknya
suami-istri. Jenny menangis menyaksikan semuanya dari balik jendela. Sejak itu,
ayahnya jarang pulang sedangkan dia sendiri pergi menumpang rumah teman, agak
jauh dari rumahnya.
Terakhir, Jenny mendapat kabar, kalau ayahnya
telah pulang ke negara asalnya, Singapura. Sedangkan ibunya pergi bersama
lelaki selingkuhannya. Jenny sendiri…merasa menemukan jalan hidupnya danm
menikmatinya seolah ingin membunuh peristiwa menyakitkan yang merubah jalan
hidup normalnya itu.
“Dan aku hamil,” kata Jenny pelan. Aku tak tahu
harus bersikap apa. Kalimat itu seakan ditujukan kepadaku dan menanti agar aku
mampu mengurai beban hidupnya. Aku tahu, apapun alasannya, ini adalah kesalahan
yang mesti diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya? Ternyata dibalik keceriaan
Jenny ketika awal berkenalan, tersimpan peristiwa cukup berat. Senyumnya mungkin
untuk membunuh siksaan beban itu.
Aku tangkap tangan Jenny. Tiba-tiba kami menjadi
sangat akrab.
“Itu alasannya hingga kamu meninggalkan Jakarta?”
“Kota itu terlalu menyiksa,” celetuknya pelan.
“Berarti akan lama tinggal di kota ini?”
“Belum tahu juga. Aku juga nggak enak dengan
sepupuku.”
Begitulah, malam terus merambat hingga larut
membawa pagi. Aku lebur dalam duka Jenny yang mungkin tidak akan tersembuhkan.
Aku sadar, kehadiranku hanya akan melupakan bebannya sesaat. Tidak akan lama!
Tetapi pertemuan singkat itu, terasa begitu bermakna. Apalagi ketika matahari
menyelinap melalui lubang jendela, mengusik tidurku. Kelelahan.
Dan pagi ini…
Kutemukan tubuh yang penuh duka itu, kini penuh
luka. Kuambil rokok, entah batang yang keberapa. Asbakpun telah penuh. Namun
batinku tetap saja blingsatan. Pagi ini benar-benar hancur. Seperti kalimat
Jenny kemarin malam, penyesalan hanyalah wujud pengingkaran. Memang semua garis
peristiwa hidup harus dijalani tanpa protes sedikitpun. Karena manusia memang
tidak layak untuk protes. Dan mungkin saja –aku ragu menggunakan kata
‘mungkin’—Jenny telah melanjutkan garis peristiwa kehidupannya. Tanpa menyesal
sedikitpun!
Kulirik koran yang terlipat di meja. Terlihat
foto tubuh Jenny, terbungkus kantung warna merah. Dan…dia hamil! Aku tersentak.
Nyaris tersedak. Berdiri. Dan melihat ke arah jendela, menerawang kosong.
Berpuluh kenangan menjejal dalam pikiran. Ketakutanku pun memuncak. Jenny
memang telah meninggal, tetapi bayi itu? Orok yang dikandungnya? Bisa jadi
–meski terlalu dekat jaraknya—aku juga memiliki anak itu. Karena
semalaman…Jenny!
Aku berteriak sendiri. Tanpa mampu menemukan
solusi sedikitpun.
* * *
Kulihat dari balik jendela yang kusam, gerimis
semakin lebat. Secangkir kopi nyaris habis. Empat puntung rokok tersuruk dalam
asbak. Pada meja di sudut ruangan itu, aku duduk sendiri. Seperti hari-hari
sebelumnya. Tetapi sejak peristiwa itu terjadi, kini aku memiliki alasan lain
untuk duduk di meja itu. Terasa gelas cappucino milik Jenny belum kering.
Perempuan itu seolah terus mengajakku untuk selalu menemuinya di caffe itu.
Kunikmati pertemuan batin yang melegakan itu. Tanpa penyesalan.
Yang lebih penting, aku selalu duduk pada meja di
sudut ruangan itu untuk menziarai anak batinku dalam kandungan Jenny. Hal itu
harus kulakukan sebagai wujud penyesalan. Maaf…Jenny. Anak itu terlalu suci
untuk menanggung beban garis hidup orang tuanya. Aku pesan kopi lagi.
Gerimis bertambah lebat.**
0 komentar:
Posting Komentar
Ayo biasakan tinggalkan komentar yaaa..