Copyright © Your Potential, Our Passion
Design by Dzignine
Jumat, 24 Februari 2012

Bimbang


Rinai hujan perlahan mereda. Aku masih menanti dirinya digerbang sekolah, hanya ditemani handphoneku yang dari tadi terus melantunkan lagu favoritku, Doushite Kimi Wo Suki Ni Natte Shimattandarou? Samar-samar aku mendengar langkah di balik tubuhku. “Thanks ya Kak udah nungguin, lama ya?” Ucap Nisa yang basah kuyup. “Nggak kok, pake nih” balasku sambil memberikan jaketku padanya. “Tapi?” “Tapi apa? Udah pake aja” Akhirnya Nisa mengenakan jaketku.
Dibawah langit senja dan temaramnya pelangi aku memacu motor sementara Nisa duduk dibelakangku. Sepanjang jalan senyum Nisa selalu merekah dan aku suka itu.  Senyumnya bagai salju yang turun digurun hatiku yang gersang yang telah lama haus akan kesejukan.
Setelah mengantar Nisa, aku pun memacu motor ke kediamanku. Entah mengapa setiap pulang dengan Nisa jantungku berdetak lebih cepat dan damai menyelimuti hatiku. Apakah ini namanya cinta yang selalu dielu-elukan oleh setiap orang? Rembulan malam itu bersinar dengan anggunnya, tak mau kalah dengan bintang yang bertaburan disekelilingnya. Rembulan yang indah itu hanya diam seribu bahasa saat aku bertanya padanya, “Apakah Nisa memiliki perasaan yang sama denganku?” Aku seperti orang bodoh yang mengharapkan jawaban dari bulan yang selalu diam.
Ternyata bulan menjawab jawabanku. Waktu istrahat esok harinya, tak sengaja kami bertemu diperpustakaan. Kami duduk besebelahan. Bukannya mengerjakan tugas yang diberikan oleh guruku, aku malah mencuri pandang kearah Nisa. Waktu berjalan lambat ketika kubersamanya. Seakan bumipun tahu aku ingin menghabiskan waktu dengannya. Pandanganku terpecahkan oleh dering bel yang menandakan waktu istirahat telah usai.
Hari itu kami tak pulang bersama. Nisa diantar pulang oleh seorang teman lelakinya. Hampa, itulah perasaanku saat itu. Terasa kosong tanpa dirinya disampingku. Ada rasa kesal saat mengingat Nisa pulang bersama lelaki lain. Apa ini yang namanya cemburu? Apa aku benar-benar jatuh cinta?
Esoknya aku dan temanku, Alan, melihat Nisa sedang bersama lelaki yang mengantarnya pulang kemarin sedang terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius. Tanpa diduga si lelaki memberikan ciuman di pipi kanan Nisa. Melihat pemandangan itu membuatku terbakar. Tanpa banyak berbicara aku langsung meninggalkan Alan dan menuju kelas.
“Siapa suruh nggak nembak?” Celetuk Alan.
“Nembak? Sorry gue nggak niat jadi polisi.” Candaku berusaha menutupi kenyataan. “Nggak usah muna lu, bilang aja suka. Iyakan?.” Desaknya.
“Ngaco lu” Elakku. Alan hanya menatapku sinis. Aku menyerah
“Emang keliatan ya?” Alan pun menghentikan tatapannya,
“Jelas keliatan, mata sama bahasa tubuh lu ngomong lebih banyak daripada mulut lu.” Aku terdiam. “Kalo lu suka sama cewek, kejar dia walau sampe ke ujung dunia.” Ucap Alan dengan mantap.“Bilang kalo lu cinta sama dia dan lu pengen jadi pacarnya.” Lanjutnya.
Aku rasa dia benar,
“Gue masih belum yakin sama perasaan gue.”
“Kok belum yakin? Jelas-jelas lu lagi falling in love.” Balasnya. “Gue…”
Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Bu Tati masuk ke dalam kelas. “Masukkan buku kedalam tas, naikkan kertas dua lembar. Kita ulangan.” Ucapan Bu Tati langsung disambut keluhan teman-temanku. “Nanti kita lanjutin.” Bisikku kepada Alan. Bisikanku diamini Alan dengan anggukannya.
Setelah tertunda tadi kami pun melanjutkan obrolan tadi.
“Tadi sampe mana.”
Mulai Alan. “Gini, gue sebenernya ragu buat nembak dia. Gue takut dia nanti jauhin gue. Disampingnya udah cukup buat gue.” Jawabku dengan pandangan tertunduk. “Tapi lu mau lebih. Bukan sekedar teman.” Balasnya. Aku hanya tertunduk diam menyadari kebenaran ucapan Alan. “Lu nggak usah takut atau malu buat nyatain perasaan lu. Nggak ada salahnya buat nyoba.” Ucapnya. Aku hanya bisa diam. Mencoba mencerna perkataan Alan tadi.
Perkataan Alan masih terngiang dikepalaku sampai larut malam. Aku pun termotivasi untuk mewujudkan perkataan Alan. Esoknya aku bertanya kepada Tari mengenai Nisa dengan lelaki yang bersamanya kemarin. Dia adalah sahabat Nisa dan juga teman masa kecilku. “Hi Tari cantik.” Godaku. “Hi juga kak ganteng. Pasti ada maunya. Apa hayo?” Rupanya tabiatku telah tertebak. “Hehehe, gini loh kemaren aku sama Alan liat Nisa dicium cowok di depan kelasnya. Siapa sih tu cowok?” “Oh, itumah Kevin kak. Dia itu mantannya Nisa.” Jawabnya. “Mantan? Mau ngapain? Kok pake acara cipika segala?” Tanyaku ingin tahu. “Dia pengen balikan sama Nisa. Tapi Nisa nggak mau, soalnya dia lagi kepincut sama seseorang. Emang bener Kevin nyium Nisa, tapi itu diluar kemauan Nisa. Habis dicium Nisa langsung nampar tu cowok.” Jawab Tari dengan mantab. “Ternyata begitu.”
Ucapku diiringi senyum samar.
 “Sekarang giliran aku yang nanya. Ngapain kakak nanya-nanya begituan? Jangan-jangan?” Tanyanya diiringi dengan seringai jahil. “Ah nggak apa-apa. Cuma penasaran doang.” Jawabku sedikit terbata-bata. “Masa cuma penasaran?” Tanyanya lagi. “Udahan dulu ya, mau ngangkat jemuran nih.” Kilahku ingin menghindar dari pertanyaan Tari. Lagipula saat itu langit sedang diselimuti awan gelap. Aku langsung berlari menuju rumah. “Nggak mau ngaku juga apa-apa!”
Teriak Tari dari belakangku. Aku hanya berbalik dan menjulurkan lidahku.
Ada tanda Tanya didalam benakku. Siapa yang sedang ditaksir oleh Nisa? Apakah dia itu aku? Atau orang lain? Aku benar-benar bingung dengan masalah ini. Tapi aku ingin Nisa tahu perasaan ini kepadanya.
Esok harinya aku dan Nisa kembali bertemu diperpustakaan. “Kak boleh nanya nggak?” Ucap Nisa membuka pembicaraan. “Boleh, mau nanya apa?” Jawabku menatap matanya yang sempurna dimataku. “Menurut kakak, aku gimana orangnya?”
“Baik.”
“Cuma itu?”
“Sebenernya…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku teman-teman Nisa datang ketempat kami dan membawa Nisa tanpa permisi.
Gagal sudah rencanaku menyatakan perasaanku kepada Nisa.
Malam-malam setelahnya aku berusaha meyakinkan diri sendiri untuk menyatakan perasaan ini padanya. Namun esoknya keyakinan itu hilang dan digantikan dengan senyum Nisa dikepalaku.
Tanpa aku tahu ayah akan dipindah tugaskan ke Korea Selatan. Ayah adalah seorang diplomat. Dengan segenap keberanian aku mencoba untuk mengungkapkan rasa yang kupendam selama ini. Malam terakhir dikota ini, aku  berbicara didepan cermin dan aku menggap cermin itu adalah Nisa. Namun Aku melihat diriku sendiri.
“Lu nggak bakal bisa ngungkapin perasaan lu sama dia.” Ledek diriku dalam cermin. “Kata siapa?”
Tantangku. “Gue adalah pikiran lu. Gue tahu apa yang lu rasain.”
“Lu takut buat mencoba, berkali-kali ada kesempatan tapi lu malah nggak ngelakuin apa-apa.” Jawabnya seakan tahu segalanya. Tapi aku rasa dia benar.
“Gue emang takut. Takut nggak bisa jadi orang yang selalu diimpikannya. Takut nggak bisa jaga hatinya. Dan gue takut ngancurin persahabatan gue sama dia.” Jawabku sambil memukul cermin itu hingga pecah. Diriku yang berada didalamnya hanya tersenyum masam dalam serpihan.
Aku mendapati diriku baru terbangun dari tidur. Rupanya aku bermimpi. Aku tertidur didepan sebuah cermin. Cermin yang berkata apa sebenarnya diriku. Esoknya aku berpamitan dengan teman-teman sekolahku. Namun aku tidak mendapati Nisa. Akhirnya aku menitipkan sepucuk surat untuk Nisa kepada Tari. “Kasih Nisa, jangan dibaca.” Ucapku kepada Tari. “Siap bos!” Balasnya sambil melakukan gerakan penghormatan.
Biarlah rasa ini ku bawa pergi hingga ku mati, Aku memang takut untuk mengungkapkan rasa ini, namun Aku tak pernah takut untuk terus mengagumi keindahan pada dirinya.
***
“Bodoh” Geramku.
“Emang isinya apa?”
Tanya Tari. Langsung saja ku perlihatkan surat yang dititipkan Kak Aldo kepadanya. “Kenapa sih dia nggak pernah sadar kalo gue suka sama dia? Apa susahnya sih ngomong ‘aku cinta kamu?’“
»»  Read More...
Kamis, 23 Februari 2012

Cerita Hidupku Semakin Menarik Karenanya

Memiliki jadwal yang padat terkadang membuat diriku putus asa, yang lemah berkuasa dan yang kuat semakin terpuruk. Jangan menjadikan suatu alasan karena kita telah kehilangan semangat karena suatu hal yang mustahil namun selalu yakin untuk selalu melakukan perubahan sedikit demi sedikit. Duduk terdiam meratapi kegagalan yang terjadi di masa lalu dan hari ini, BUKANLAH jalan keluar! Aku melihat bayanganku yang selalu setia mengiringi kemanapun takdir menuntunku.

Semangat, hmm.. Satu kata tersebut sangat unik di telingaku. Karena semangat tidak bisa berdiri sendiri, namun ia butuh bantuan dari orang lain. Sama dengan ceritaku kali ini, mendengarkan musik favorit dengan tema akustik itu sangat menyenangkan, juga seorang gadis yang hampir kulihat setiap hari. Yah.. tentu saja hanya kulihat namun aku tak bisa melakukan lebih dari itu, menyenangkan sekali jika aku terkadang bisa berbagi cerita yang kita sukai dalam berbagai hal. Aku membuat catatan kecil di alam dimensiku yang lain bahwa kita jarang sekali tertawa atau melakukan hal bersama, Masalah untukku? Tentu tidak, langkahku yang ingin kuraih seperti teropong Hubble yang bisa mencapai lebih dari sejuta tahun cahaya. Aku yakin itu.

Seperti pada peristiwa-peristiwa sebelumnya, walau kita jarang berkomunikasi dengan indah, namun kita selalu beradu argumen. Dengan dasar pemikirannya dan kata-kata yang seolah-olah telah dirangkai dalam sebuah skrip, ia mampu berargumen dengan baik dan aku selalu berusaha untuk menjadi pendengar baik baginya. Namun bisakah jika kita harus selamanya seperti ini? kembali merenung untuk sebuah kisah panjang yang telah berlalu dan mengambil kesimpulan di akhir, "Tidak, Jangan Secepat Ini !" apakah mengambil kesimpulan adalah sebuah batu yang menghalangi diriku untuk melangkah kembali? Hahaha tentu saja tidak.

Tanggal 16 - 22 Februari 2012 dan sering terjadi pada pukul 08.07 hingga 12.15 siang. Waktu yang sangat mudah aku melihat ceritanya berjalan dengan alur yang rata. Dari awal hingga akhir aku mencatat semua peristiwa dan kisah-kisah dalam suatu brankas yang entah dimensi apakah itu. Sejujurnya aku sangat iri pada kalian yang bisa tertawa dengannya, perlukah rumus untuk melakukannya?

Semoga hidupmu yang menyenangkan dan penuh canda tawa dan senyuman selalu terpancarkan dalam setiap hembusan napasmu. Tetaplah ceria.


»»  Read More...
Selasa, 21 Februari 2012

Meja di Sudut Ruangan yang Aku Suka

Ini benar-benar bulan Desember. Hujan dimana-mana. Jalanan basah. Langit hitam menggantung sepanjang hari. Dan angin bertiup terlalu kencang. Dingin menusuk tulang. Musim penghujan tahun ini datang terlambat, mungkin akan lama. Untung saja, kotaku yang kecil bukan termasuk wilayah langganan banjir. Bukan karena disiplin penghuninya, tetapi rasio penduduk dan luas wilayah sangat tidak sebanding. Membuat iri mereka yang tinggal di kota besar yang padat dan sumpek. Kotaku kecil sehingga tidak memerlukan kerja ekstra untuk mengurusnya.

Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Apalagi setiap musim penghujan, aku paling suka melihat jalanan kotaku basah. Dedaunan di sepanjang jalan terlihat mengkilat pada sore hari. Terpaan lampu kota membuat deretan pohon di sepanjang jalan layaknya pagar besi berkilau. Aku suka itu!

Sore ini, angin bertiup terlalu kencang. Hujan sejak pukul 12 siang tadi belum juga berhenti, meski kini tinggal gerimis. Dari balik jendela sebuah caffe shop di pinggir kotaku,, aku duduk menikmati gerimis itu. Gerimis yang telah lama tidak aku temukan hampir sepanjang tahun ini. Sekaligus gerimis yang selalu membuka beragam cerita yang menumpuk di sudut batinku. Aku duduk di situ ditemani segelas cappucino sambil menghisap rokok, pelan dan dalam. Mestinya aku merasa damai berada di situ, nyaman dan melonggarkan pikiran. 

Tetapi sore itu tidak!
Aku memang selalu datang ke tepat itu setiap sore sehabis mengirimkan tulisan ke media yang bisa memuat esai-esai ‘kacau’-ku. Melepas penat dan mungkin akan menemukan ide baru untuk bahan tulisan keesokan harinya. Terlalu sering aku di situ. Hingga hampir seluruh pelayan mengenalku. Keuntungannya, setiap aku masuk tanpa ditanya menu, langsung dipersilahkan duduk di meja dekat jendela yang terletak di sudut ruangan. Tempat yang aku suka!

Anehnya, sore itu aku menemukan diriku tidak biasanya. Perasaan ini semakin aneh manakala melihat kaca jendela kusam dan buram. Kuusap dengan tangan, terlihat beberapa anak bermain air di pinggir jalan. Anak jalanan! Meski kotaku kecil, namanya anak jalanan tetap saja ada. Tentu saja dengan tingkat kerumitan permasalahan yang berbeda. Anak jalanan di kotaku masih memiliki rumah dan orang tua. Hanya saja orang tua mereka tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga anak-anak mereka tidak terurus. Berbeda dengan di kota besar yang ‘tuna’ segala-galanya. Bahkan orang tua saja mereka bingung menentukan siapa dan dimana.

Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang polos. Bermain air, saling menendang, memukul, berputar, berlari, tanpa beban. Suasana tawa dalam guyuran gerimis di luar terasa ringan. Seringan kapas! Berbeda dengan suasana nyaman di sini, di sudut ruangan yang cozzy –kata anak-anak muda—tetapi terasa berat, seberat awan hitam yang menggantung. Nyaris jatuh. 
“Sedang menunggu seseorang?” suara perempuan mengoyak lamunanku. Perempuan muda dengan senyum enteng kutemukan telah duduk tepat di depanku. Sejak aku mengenal dan menjadikan coffe ini tempat favorit untuk meliarkan khayalan, baru sore itu ada perempuan datang dan duduk tanpa aku minta. Aku agak gelagapan.
“Tidak juga. Kamu…,” aku belum menemukan pertanyaan yang sesuai untuk sebuah ketiba-tibaan. Aku panggil ‘kamu’ karena aku yakin usia perempuan ini jauh di bawahku. 
“Maaf, jika mengganggu,” celetuknya.
“Tidak juga,” terpaksa aku mengulang kalimatku. “Terima kasih telah mamu duduk di meja ini.”

Ya! Aku formal banget. Perempuan itu tersenyum. Mungkin menertawai sikapku yang diluar perkiraannya. Aku bisa menebak, dipikirnya aku akan langsung menyodorkan senyum menggoda dan bergerak sangat agresif. Jujur, aku memang sering seperti itu tetapi bukan untuk sebuah ketiba-tibaan yang menghilangkan segala kecerdasanku. Benar! Aku terasa seperti lelaki lugu.

Perempuan itu membetulkan posisi duduknya.
“Aku baru dua kali kesini. Pertama tiga hari lalu, dan duduk di meja ini,” katanya. Aku mengingat tiga hari yang lalu, memang aku tidak ngopi di sini. Aku ke rumah teman di luar kota. “Dan sore ini, ternyata tempat ini enak juga ya…,” lanjutnya.
“Aku sering ke sini,” jawabku seolah menyiratkan di meja inilah tempatku!
“O…ya?”
“Hampir setiap sore. Dan duduk di sini.”
“Selalu di sini?” tanya perempuan itu lagi.
“Ini tempat yang terlindung,” jawabku sambil melirik ke pot-pot bunga yang berjejer mengelilingi sudut ruangan tempat favoritku. “Tidak terlihat tetapi bisa melihat siapa saja yag masuk.”
“Pilihan tepat. Lalu kenapa tadi aku mengejutkanmu?”

Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku tadi sangat terkejut melihat kedatangannya.
“Lihat anak-anak itu! Mereka membuatku tidak menyadari ada seseorang telah berada di depanku,” jawabku sekenanya. Perempuan itu tersenyum. Giginya terlihat sangat terawat. 
“Maaf, kita belum kenalan, Oka…” kusodorkan tangan. Dia menyambut tanpa ragu.
“Jenny.”
“Baru di kota ini?”
“Betul. Aku tinggal bersama saudara sepupu di ujung jalan ini,” jawabnya.

Setelah berkenalan itulah, pembicaraanku dan Jenny berlangsung lancar. Bahkan kini terlihat bakat asliku; agresif dan suka memutar balik logika kalimat lawan bicara. Tak terasa hampir dua jam, aku dan Jenny terlibat pembicaraan tanpa arah. Ringan tetapi aku tahu, Jenny sangat suka. Bahkan dengan gayanya yang khas Jenny menceritakan kondisi keluarganya di Jakarta yang berantakan. Ayahnya harus balik ke Singapura sedangkan ibunya tetap tinggal di Jakarta, serumah dengan pria selingkuhannya. Aku menghela napas panjang dan dalam. Dari dulu, peroblematika hidup kota besar tak jauh bergeser. Cinta, uang, pengkhianatan….klise! Bentakku dalam hati. 

Hujan di luar sedikit mereda. Tetapi jalanan mulai gelap. Temaram lampu kota, sekuat tenaga menembus dinginnya udara basah. Kulihat Jenny semakin menikmati suasana, seolah ingin melepaskan beban yang puluhan tahun menimbun kebebasannya.
“Apa tidak terlalu malam?” kataku mengingatkan.
“Aku masih suka di sini. Oka keberatan?” 
Aku menggeleng.

Akhirnya aku melanjutkan pertemuan itu hingga larut malam. Jenny memang luar biasa dengan segala permasalahan hidupnya. Diceritakan dengan detail, mungkin tanpa tertinggal secuilpun. Aku menikmatinya. Keliaran pikiranku menangkap cerita Jenny dengan penuh semangat. Ini ide hebat! Pikirku.

Hingga pagi. Tetapi tidak di coffe itu lagi. Kutemukan tubuhku, lunglai dalam pelukan Jenny. Malam yang penuh gerimis telah membuka segala cerita, menimbun segala duka. Ini sisi kreatifku yang terkadang muncul tanpa kusadari. Maaf…
*   *   *

Kubatalkan semua rencana yang telah kususun rapi sejak semalam. Ke rumah teman, lantas mampir ke perpustakaan kota, dan ngopi di tempat biasa. Semangatku mendadak terbang menyelinap di sela mendung yang membekap matahari pagi. Kini, gelapnya langit benar-benar membunuh ketenangannku. Lantas mengumbar kecemasan yang sangat hebat. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menyingkirkan kenyataan mengerikan akan mengusik kenyamanan pagiku. Mungkin juga kenyamanan seluruh usia hidupku.

Kubaca koran pagi; Jenny bunuh diri! 
Seorang perempuan, tengah malam, ditemukan tewas tergeletak di pinggir rel kereta dekat gerbang masuk kota. Diduga, perempuan itu menabrakkan diri ke kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi. Polisi berhasil menemukan indentitas dalam tasnya, korban bernama Jenny, 27 tahun, warga Jakarta yang baru beberapa hari tinggal di kota ini…Kulipat koran itu, napasku seolah berhenti sesaat. Tetapi jantungku berdegub jauh lebih kencang. Itu perempuan yang bersamaku kemarin malam!

Aku membaca berita singkat itu sekali lagi. Sama. Aku yakin itu Jenny! Tetapi kenapa dia melakukan hal bodoh itu? Kuhisap rokok sekedar menenangkan pikiran. Tetapu justru malah blingsatan dan menyiksa. Entah apa yang sedang terjadi dalam pikiranku, aku tidak tahu. Sedih. Takut. Bersalah. Semua jadi satu! Apalagi ketika paragraf terakhir berita itu kubaca; hasil visum tim dokter menyatakan kalau korban sedang hamil dua bulan. Keringat dingin meluncur tak tertahankan lagi.

Apa karena kehamilannya itu membuat Jenny nekad? Berpuluh ingatan singkat tentang Jenny memenuhi pikiranku. Aku terduduk. Lemas. Kurasakan angin dingin menyelinap menggerakkan dedaunan di luar dan menelusup melalui celah jendela. Kemarin malam, seolah tanpa beban, Jenny menjelaskan sebagian peristiwa hidupnya.
“Kau tidak menyesal?” tanyaku.
“Lama sekali aku tidak mengenal perasaan itu.”
“Kenapa?”
“Kedua orang tuaku, seolah mengajarkan jika penyesalan adalah bentuk pengingkaran,” Jenny menerawang kosong. Aku yakin, ada beban teramat berat menggunung dalam batinnya.
“Rupanya ada bagian masa lalu yang menyakitkan?”
“Bukan sebagian hampir seluruhnya. Semua peristiwa terjadi pada diri kita seolah diluar rencana baik yang kita susun. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan rangkaian peristiwa itu. Jadi, suka atau tidak, harus dijalani,” jelas Jenny sangat dalam.
“Meski peristiwa itu akibat ulah kita sendiri?”
“Hanya persoalan cara pandang saja,” tukasnya pendek.

Selanjutnya, tanpa beban secuilpun menganggu perasaannya, Jenny menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya pada suatu malam. Pertengkaran yang hebat! Ketika itu, Jenny tidak mengerti pangkal permasalahan sebenarnya. Yang dia lihat, ayahnya menampar ibunya. Ibu lebih berani lagi, membantah dan melontarkan kalimat kasar. Bukan layaknya suami-istri. Jenny menangis menyaksikan semuanya dari balik jendela. Sejak itu, ayahnya jarang pulang sedangkan dia sendiri pergi menumpang rumah teman, agak jauh dari rumahnya. 

Terakhir, Jenny mendapat kabar, kalau ayahnya telah pulang ke negara asalnya, Singapura. Sedangkan ibunya pergi bersama lelaki selingkuhannya. Jenny sendiri…merasa menemukan jalan hidupnya danm menikmatinya seolah ingin membunuh peristiwa menyakitkan yang merubah jalan hidup normalnya itu. 
“Dan aku hamil,” kata Jenny pelan. Aku tak tahu harus bersikap apa. Kalimat itu seakan ditujukan kepadaku dan menanti agar aku mampu mengurai beban hidupnya. Aku tahu, apapun alasannya, ini adalah kesalahan yang mesti diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya? Ternyata dibalik keceriaan Jenny ketika awal berkenalan, tersimpan peristiwa cukup berat. Senyumnya mungkin untuk membunuh siksaan beban itu. 

Aku tangkap tangan Jenny. Tiba-tiba kami menjadi sangat akrab.
“Itu alasannya hingga kamu meninggalkan Jakarta?”
“Kota itu terlalu menyiksa,” celetuknya pelan.
“Berarti akan lama tinggal di kota ini?”
“Belum tahu juga. Aku juga nggak enak dengan sepupuku.”  

Begitulah, malam terus merambat hingga larut membawa pagi. Aku lebur dalam duka Jenny yang mungkin tidak akan tersembuhkan. Aku sadar, kehadiranku hanya akan melupakan bebannya sesaat. Tidak akan lama! Tetapi pertemuan singkat itu, terasa begitu bermakna. Apalagi ketika matahari menyelinap melalui lubang jendela, mengusik tidurku. Kelelahan. 

Dan pagi ini…
Kutemukan tubuh yang penuh duka itu, kini penuh luka. Kuambil rokok, entah batang yang keberapa. Asbakpun telah penuh. Namun batinku tetap saja blingsatan. Pagi ini benar-benar hancur. Seperti kalimat Jenny kemarin malam, penyesalan hanyalah wujud pengingkaran. Memang semua garis peristiwa hidup harus dijalani tanpa protes sedikitpun. Karena manusia memang tidak layak untuk protes. Dan mungkin saja –aku ragu menggunakan kata ‘mungkin’—Jenny telah melanjutkan garis peristiwa kehidupannya. Tanpa menyesal sedikitpun!

Kulirik koran yang terlipat di meja. Terlihat foto tubuh Jenny, terbungkus kantung warna merah. Dan…dia hamil! Aku tersentak. Nyaris tersedak. Berdiri. Dan melihat ke arah jendela, menerawang kosong. Berpuluh kenangan menjejal dalam pikiran. Ketakutanku pun memuncak. Jenny memang telah meninggal, tetapi bayi itu? Orok yang dikandungnya? Bisa jadi –meski terlalu dekat jaraknya—aku juga memiliki anak itu. Karena semalaman…Jenny! 
Aku berteriak sendiri. Tanpa mampu menemukan solusi sedikitpun.
*   *   *

Kulihat dari balik jendela yang kusam, gerimis semakin lebat. Secangkir kopi nyaris habis. Empat puntung rokok tersuruk dalam asbak. Pada meja di sudut ruangan itu, aku duduk sendiri. Seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sejak peristiwa itu terjadi, kini aku memiliki alasan lain untuk duduk di meja itu. Terasa gelas cappucino milik Jenny belum kering. Perempuan itu seolah terus mengajakku untuk selalu menemuinya di caffe itu. Kunikmati pertemuan batin yang melegakan itu. Tanpa penyesalan.

Yang lebih penting, aku selalu duduk pada meja di sudut ruangan itu untuk menziarai anak batinku dalam kandungan Jenny. Hal itu harus kulakukan sebagai wujud penyesalan. Maaf…Jenny. Anak itu terlalu suci untuk menanggung beban garis hidup orang tuanya. Aku pesan kopi lagi.
Gerimis bertambah lebat.**

»»  Read More...

Kenangan Dikala Hujan


Dalam keheningan malam,aku terdiam membisu,teringat aku akan kenangan dua tahun  lalu, saat kita masih bersama terbius dalam lakon kisah klasik masa remaja yang indah.

Entahlah apa yang terjadi, tiap kali aku melihat bintang, aku seperti melihat pancaran sinar matamu yang berhasil menggodaku terjebak dalam kesalahan termanis. Yah! Mencintaimu adalah kesalahan bagiku, namun mencintaimu adalah dosa terindah yang pernah kuperbuat.

Entah apa yang ada dalam pikiranku, tiap kali kumelihat sinar matamu, maka tiap kali juga aku melihat fatamorgana surga yang sebenarnya adalah neraka.
“Tidak ini tidak boleh terjadi”,bisik malaikat dalam hati yang mencoba menyadarkanku Aku sendiri yang telah membuat keadaan seperti ini. Aku sendiri yang telah menjodohkanmu dengan sahabatku. Hingga akhirnya misi ini berhasil, tiba-tiba kau datang padaku dengan mengucap kata cinta yang berhasil membuatku melayang tinggi. Higga akhirnya aku sadar dan terjatuh kembali.

Seharusnya kata cinta itu bukan buatku, seharusnya kau ucap itu untuk sahabatku. Yah, untuk sahabatku, Maya. Dia lebih berhak, Pengorbanannya untukmu lebih besar, bahkan mungkin dialah yang lebih bisa membuat harimu lebih berwarna dengan kehangatan dan kelembutan yang dia miliki. Kenapa kau ucapkan kata itu untukku? Tak sepantasnya aku mendengar kata cinta itu darimu.“Nur,kenapa kau diam?Kau tak suka denganku. Aku tahu kau selalu berusaha mendekatkanku dengan sahabatmu itu, tapi Nur, bukan dia yang aku mau”,tuturnya penuh dengan kelembutan.
“Kenapa,?”tanyaku mencoba mencari tahu alasannya.
“Kenapa kau bilang? Bukannya dari dulu kita sudah saling mengenal. Aku lebih mengenalmu daripada Maya dan aku lebih suka kepribadianmu daripada Maya. Sebelum kau mempertemukanku dengan Maya, aku sudah jatuh hati padamu Nur,hingga akhirnya kau mencoba untuk mendekatkanku dengan Maya. Aku pikir jika aku dekat dengan Maya, aku akan memiliki banyak kesempatan untuk melihat senyummu bahkan membuatmu jatuh hati.

Tapi sayang sekali, dugaanku ternyata salah, tak sedikitpun kau menoleh padaku. Bahkan kau selalu berusaha membuat waktu agar aku dan Maya bisa jalan berdua..” Mendengar kata-kata emosional dari Ardian, lelaki yang berusaha aku jodohkan dengan sahabatku Maya membuatku terdiam seribu bahasa. Tak sepatah katapun bisa aku lontarkan untuk membalas pernyataan yang berhasil membuatku kalah telak. “Kenapa kau lagi-lagi diam Nur, ayo jawab pertanyaanku Nur. Kenapa kau hanya diam Nur? Padahal kau tak pernah kalah dalam adu argumen, kau paling jago Nur kalau adu argumen. Tapi kenapa kali ini kau hanya diam? Ah! Mungkin kau benar-benar tak pernah menganggapku, ya sudahlah kalau begitu.” Ardian berlalu pergi sambil meninggalkan penyesalan dalam hati.

Andai saja kau tahu perasaanku yang sebenarnya. Andai saja kau ucapkan kata cinta itu dari dulu, sebelum Maya memintaku untuk menjadi perantara agar bisa dekat denganmu. Aku tak mungkin katakan yang sebenarnya . Pengorbanan Maya untukmu lebih besar daripada aku. Bahkan cinta Maya untukmu juga lebih besar. Sementara aku, aku tak pernah berbuat sedikitpun untuk menunjukan rasa sayang padamu. Lagipula, aku tak mungkin menghancurkan perasaan sahabatku sendiri. Aku yang telah membuat kalian lebih dekat. Hingga sahabatku Maya jatuh amat dalam pada perasaan cinta dan sayang untukmu Ardian. Seandainya aku bisa katakan semua ini dihadapanmu. Seandainya kau bisa mendengar langsung kenyataan ini. Kali ini, aku hanya bisa mengatakan kenyataan ini di bawah derasnya hujan agar kau tak bisa mendengarnya. Biarlah gemuruh petir dan derasnya hujan yang mendengarnya karena aku tak ingin melukai kalian. Aku tahu kau pasti bahagia dengannya. Aku yakin Maya pasti bisa memberikan kebahagiaan dan warna yang cerah dalam harimu. Aku yakin itu.
»»  Read More...
Senin, 20 Februari 2012

Belajar memahami & mengerti

Guys, pernah terlintas dipikiran kalian mengenai cara berpikir seorang wanita dan perasaannya? Sulit memang dan tak mudah tentunya. Apalagi jika seorang wanita dan itu merupakan orang yang kita sukai.. Wow semakin menarik memang, penuh tantangan dan menuntut kita untuk berpikir secara kritis.

Ok kita buat lebih simple, jika seorang gadis ini adalah yang kau sukai maka jawab dulu pertanyaan ini dalam diri kalian.
1. Jika si dia sedang mengobrol dengan lelaki lain dan keliatannya akrab sekali (bahkan melebihi dirimu) maka apa yang akan kau lakukan?
2. Jika si dia terlihat diam atau menyendiri di tempatnya, maka apa yang akan kau lakukan?
3. Jika si dia membutuhkan saranmu namun terkadang ia tidak menuruti saranmu, maka apa yang kau lakukan?
4. Kau selalu menolongnya, namun Kamu merasa jasamu seperti tidak pernah dianggap. maka apa yang kau lakukan?
5. si dia adalah sahabatmu sendiri dan semakin lama hubungan kamu itu seperti semakin pudar (padahal kau ingin mendekatinya). maka apa yang kau lakukan

Jawabannya terdapat dalam diri kalian sendiri, bagaimana kalian menyikapinya. Apakah kamu bersifat arogan, Pemaaf, Pendendam, Terbuka atau yang lainnya.

Intinya dalam segala hal yang kamu jumpai itu jangan langsung mengambil keputusan tentang suatu peristiwa yang kau lihat. Selalu berpikir positif dan jangan terbawa emosi, karena dari situlah kita menentukan langkah yang akan dicapai berikutnya.

Memahami perasaan seorang wanita itu seperti menemukan sebuah jarum di tumpukan jerami. Penuh teka-teki dan misteri, namun percayalah pada dirimu jika kau yakin dapat membuatnya selalu tersenyum di setiap detiknya bersamamu.

Hehehe walau saya juga lagi suka sih sama seseorang.. Tapi selalu yakin terhadap diri sendiri dan memegang prinsip agar diri saya dan kalian tidak terjerumus dalam keadaan yang tidak diinginkan, misalnya bila si dia jalan  sama cowok lain trus kamu beli baygon sebotol dan meminumnya seakan jus jeruk. Jangan pernah! yang ada kalian malah mati konyol.

Ingat, seorang wanita perlu perhatian lebih dan komunikasi yang selalu terjalin.
sekian dari saya, terima kasih dan sampai jumpa. Konnichiwa!
»»  Read More...
Sabtu, 18 Februari 2012

Mengenali Shuji

Apa itu shuji? makanan dari jepangkah? Haha.. bukan guys, itu adalah seni menulis kanji dari jepang yang bertumpu pada kaligrafi. Seni ini telah dikenal oleh masyarakat jepang sangat lama, dan setelah saya membaca mengenai shuji, akhirnya saya berniat untuk membagikannya kepada kalian:
Ok pertama adalah..
Peralatan
Peralatan apa yang dibutuhkan? Kita lihat yuk! Yang pertama adalah kuas. Kuas ini ada yang besar, ada juga yang kecil.
Kuas
Yang kedua, Tinta Cinta… eh Tinta Cina. Yah, kalau ke Jepang namanya tentu saja jadi Tinta Jepang…
Tinta Cina
Yang ketiga, saya tidak tahu namanya tapi fungsinya untuk mewadahi tinta. Yah, kita namakan sajaPalet. Meski kalau dilihat bentuknya lebih tepat disebut ulekan sambal…
Tempat Menaruh Tinta
Nah, yang terakhir adalah kertas. Sediakan dua jenis kertas: Yang jelek dan yang bagus. Yang jelek untuk latihan menulis, sedangkan yang bagus untuk tempat menulis karya terbaik. Kalau anda punya uang untuk dibuang, tentu saja anda bisa menggunakan kertas jenis yang bagus untuk latihan…
Kertas
Menggambar dengan Benar
Nah, sekarang cara menggambar Shuji yang benar. Inilah caranya:
Cara menggambar Shuji yang benar.
Pokoknya, posisi kakinya seperti itu. Posisi kuas harus tegak lurus sama permukaan gambar. Banyaknya mata kuas yang dibalur tinta harus 3/4 dari panjang mata kuas. Oh ya, kertas harus ditahan, agar tidak bergeser. Lebih jelasnya seperti ini,
Kertas harus ditahan oleh beban agar tidak bergeser.
Ngomong-ngomong posisi duduk, berikut ini adalah cara duduk yang salah:
Mau tahu kesalahan mereka? Kesalahan orang paling kiri adalah menggambar sambil jongkok. Kesalahan orang di tengah adalah: 1) duduk dengan posisi seperti makan nasi bungkus, 2) Menahan kertas dengan jempol kaki. 
Juga berikut adalah videonya yang menulis kanji "Ai" atau "Cinta":


Semoga bermanfaat guys! See u next time on my other Story in the Paper!
Sumber :http://ismailfaruqi.wordpress.com/2007/06/08/shuji-kaligrafi-jepang/
»»  Read More...